Arsip Artikel

Dolly, Bukan Pelacur atau Mucikari Sebatas Ibu Kos

Selama ini orang mengenal lokalisasi Dolly, namun mereka belum tentu mengenal sosok perempuan yang akrab di panggil Dolly. Berikut ini adalah penelusuran tentang sosok perempuan yang namanya ‘harum’ hingga menembus sekat-sekat budaya, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Lokalisasi Dolly selalu diidentikkan dengan Surabaya. Konon, jika seseorang datang ke Surabaya namun tidak mampir ke Lokalisasi Dolly, maka ia belum patut dikatakan sudah pernah datang ke Surabaya. Sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Patpong di Thailand dan Geylang di Singapura, nama lokalisasi Dolly memang memancing daya tarik, karena seribu pesonanya. Namun, siapa yang mengenal sosok perempuan bernama Dolly yang selama ini digembar-gemborkan sebagai tokoh yang berperan besar dalam melahirkan lokalisasi Dolly.

Dolly bukanlah perempuan keturunan Belanda seperti anggapan umum kebanyakan. Dia adalah perempuan asli Surabaya yang kebetulan memiliki darah Filipina. Dolly lahir di Surabaya, 15 September 1929 dan wafat pada tanggal 7 Januari 1992.

“Dolly dimakamkan di Kota Malang,” kata Wardoyo (70), adik kandung Dolly, saat ditemui di rumahnya yang terletak di tengah Kota Surabaya, Rabu (1/12).

Berdasarkan kisah Wardoyo, yang merupakan saksi hidup sejarah lokalisasi Dolly, saat saudara perempuannya itu dilahirkan ibunya yang bernama Ani, dari pernikahannya dengan lelaki Filipina yang bernama DA Chavit, dia tidak diberi nama seperti yang sekarang ini, yang sering diidentikkan dengan dunia prostitusi atau pun sebuah lokalisasi. “Dolly hanya nama panggilan sehari-harinya yang diberikan oleh ayahnya, Chavit,” kata Wardoyo.

Sedangkan nama asli Dolly, Wardoyo enggan memberitahukan, dengan alasan tidak ingin mengungkit masa lalu keluarganya.

Sejak masa remaja, Dolly dikenal sebagai sosok perempuan yang tangguh. Ini bukan karena postur tubuhnya yang gempal, namun karena semangatnya yang besar demi meraih keberhasilan. “Ia (Dolly) sosok kakak yang giat bekerja,” ujar Wardoyo sambil mengenang, seraya menunjukkan foto Dolly kepada Surya.

Karena semangatnya yang tinggi dalam bekerja, Dolly pun pada akhirnya mampu membeli rumah di kawasan Dukuh Kupang bagian timur. Rumah inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya lokalisasi yang masyur di seantero Nusantara. Rumah ini disewakan Dolly kepada seorang perempuan asal Lumajang. “Perempuan ini berinisial TBN. TBN hendak mendirikan rumah esek-esek di rumah yang disewanya dari Dolly. Dialah yang patut dianggap sebagai germo pertamanya,” kata Wardoyo sambil merahasiakan nama asli perempuan asal Lumajang ini.

Pembukaan rumah esek-esek ini dimulai pada kurun waktu 1967. Jadi, terang Wardoyo, jika ada yang menyebut lokalisasi Dolly berdiri sejak zaman Belanda, itu salah besar.

Alhasil, usaha esek-esek ini pun maju dengan pesatnya hingga perlu membuka rumah lagi untuk dijadikan ‘armada’ baru. Pelebaran ini pun hingga merebak ke wilayah Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. “Dan nama Dolly pun dikenal sebagai nama lokalisasi prostitusi hingga kini,” kata Wardoyo.

Dari usaha esek-esek yang berkembang pesat ini, Dolly hanya meraup keuntungan dari biaya sewa yang ia kenakan kepada TBN selaku germo dan dari hasil penjualan makanan dan minuman yang dijajakannya.

“Dolly hanya sebatas jadi ibu kos dan mengelola semacam cafĂ© di sekitaran usaha esek-esek yang dikendalikan oleh mucikari TBN. Dia bukan pelacur yang kemudian ‘pensiun’ lalu menjadi mucikari seperti yang digembar-gemborkan selama ini. Ini fitnah,” tandas Wardoyo.

Selain menyewakan kamar untuk usaha esek-esek, terang Wardoyo, Dolly juga menyewakan kamar untuk tempat tinggal pada umumnya, bukan untuk tempat prostitusi. Di antara penghuni umum, sebagian kecil dari kalangan mahasiswa atau pelajar dari luar kota yang kebetulan menimba ilmu di Surabaya. “Yang paling banyak adalah para pekerja dan pengusaha, juga ada yang dari kepolisian. Mereka hanya penghuni biasa,” kata Wardoyo.

Sementara itu, tentang kisah asmara, Dolly pernah menikah dengan seorang lelaki bernama Soekop dan dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Edowar Soekop. Selain itu, Dolly juga memiliki jiwa sosial yang besar. “Dolly mempunyai banyak anak asuh,” kata Wardoyo.

Sedangkan di kurun waktu 1940-an Dolly ditinggal wafat ayahnya, DA Chavit. Ayahnya dikuburkan di sebuah pemakaman umum di Surabaya. Kemudian, ibu Dolly, Ani, menikah lagi dengan lelaki asal Gresik yang bernama Soebandi. Dari Soebandi-lah Ani dikaruniai dua orang putra.

“Dua orang putra itu adalah kakak saya (enggan menyebutkan nama) dan saya. Dengan kata lain, saya masih saudara kandung Dolly, hanya saja kami lain bapak,” imbuh Wardoyo.

sumber : http://wolu7.blogspot.com/2010/12/mengenal-dolly-bukan-pelacur-atau.html